Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
Ahad, 29 September 2024
@Masjid Nurul Iman Blok M Square
Bagaimana seni berkomunikasi dengan anak?
Salah satu nikmat yang Allah berikan adalah nikmat bicara, komunikasi, menyampaikan isi hati apa yang kitasukai dan tidak, mengungkapkkan perasaan. Aturan dalam Islam adalah hendaklah bicara baik atau diam, jadi kita harus tau kapan bicara kapan diam.
Manusia perlu belajar bicara, karena bisa berbicara dengan baik adalah satu kelebihan, Tidak ada orang yang lahir bica bicara kecuali tiga bayi saja (Nabi Isa, bayi yang dituduh anak Juraij, dan bayi yang sedang dalam gendongan ibunya dalam kisah ashabul ukhdud, bahkan Nabi kita jug tidak bisa bicara ketika lahirnya, dan untuk punya kemampuan bicara harus belajar.
Kebijaksanaan bisa dilihat dari bagaimana seseorang itu bicara.
Terutama dalam bab pendidikan, bicara adalah bagian dari hablum minannas, lebih dalam lagi ketika membahas konteks mendidik.
Komunikasi dengan anak bukan hanya sekedar visi, tapi menyangkut segalanya, karena secara tidak langsung kita memberikan teladan pada anak.
Pendidikan itu terkandung dua hal, yang pertama adalah konten yang kedua adalah keteladanan
Maka dalam mendidik bukan hanya isinya yang benar, tapi caranya juga harus benar.
Misalnya mengajari anak-anak tapi sambil marah-marah. Nah marah-marah itu akan ditiru sama anak sedangkan isinya belum tentu ditiru sama anak.
Mau-gamau jadi orang tua itu harus JAIM (JAGA IMAGE)
Harus pintar akting juga, karena ketika mendidik depan anak itu sebagai pendidik.
Sekecil apapun itu akan jadi teladan, akan jadi contoh. Jangan terpedaya ketika diamnya anak, dia merekam sebenarnya “ohh begini ya caranya” karena manusia terus berkembang.
Sebagian orang punya cara komunikasi yang buruk sehingga pesan tidak tersampaikan.
Kunci berhadapan dengan manusia adalah bagaimana kita bisa berkomunikasi dengannya, dan ini adalah kemampuan yang dimiliki oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Poin terpenting dalam etika bicara adalah kemampuan mengontrol emosi, karena kalua kita emosi hilang semuanya.
1) suara meninggi
2) kata-kata tdak terkontrol
Kita harus punya kontrol emosi yang baik. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang namanya marah adalah menutup akal. gholab itu tertutup, hilang semuanya, kebijaksanaan hilang. Apalagi dalam konteks mendidik.
Kalau kita sudah marah kita gabisa mneyampaikan ilmu, hilang ilmu itu.
Hla yang penting juga adalah kemampuan mendengar, kapan kita bisa diam utuk menyimak. Karena harus ada momen timbal balik. Orang yang bis bicara dengan baik maka di juga harus bisa mendengar dengan baik, menyimak.
Termasuk anak kita, kita harus beri kesempatan dia bicara. Nabi Ibrahim menyontohkan, ketika dapat perintah menyembelih ismail, tidak langsung eksekusi tapi berkata dulu pada Ismail.
Ketika kita bisa memahami seseorang, kita tahu apa yang bisa kita omongkan kepadanya. Dalam konteks mendidik keseimbangan untuk bicara dan mendengar
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kedatangan utusan orang musyrik, maka ketika bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dulu biarkan mereka bicara dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar, baru kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bicara.
Salah satu komunikasi yang buruk adalah dua-duanya saling bicara, saut-sautan.
Menyulitkan bagi anak karena yang dia hadapi adalah orang tua.
Dengan mendengarkan anak kita juga jadi bisa menilai tingkat kedewasaan anak.
Anak belajar bicara dari orang tuanya. Kata-kata, pesan, nada bicara, gestur tubuh, belum lagi pemilihan kata.
Allah berfirman “dan janganlah kamu membentar keduanya
Para ulama sepakat sudah termasuk membentak adalah kita mengangkat suara lebih tinggi dari orang tua.
Jadi manusia pelru bicara sepanjang hidupnya karena dari situlah dia mengasah kebijaksanaannya, dan itu spontan, tidak dibuat-buat.
Kalau mau bicara miki-mikir dulu itu namanya belum terlatih
Kalau gak biasa pasti keluar aslinya, gabisa dibuat-buat.
Demikian juga kemampuan seseorang berbahasa, dalam kondisi-kondisi tertentu.
Orang tua itu kata-katanya harus berbobot kalau tidak ini termasuk orang yang kasian jadi orang tua. Betapa banyak orang tua yang jadi radio rusak depan anaknya, artinya kata-katanya sudah ga berarti lagi, bukan anak tidak mau mendengar tapi orang tua selalu bicara sesuatu yang tidak berfaedah.
Salah satu sebab terbesar orang tua marah adalah karena dia ingin menutupi kelemahan dirinya, yaitu kata-katanya sudah tidak berbobot lagi,
Mau gamau orang tua harus terus belajar, agar kata-katanya terus berbobot, bukan “pokoknya-pokoknya”. Itu menggambarkan ketidak mampuan berargumentasi. Sebenarnya anak senang mendengar argumentasi, bukan berbantah-bantah, ini penting juga supaya tidak mengajari anak tidak taqlid (menerima perkataan orang lain dengan tanpa hujjah)
Kebutuhan kita akan ilmu ketika jadi orang tua itu berkali-kali lipat dibanding ketik kita masih sendiri, maka orang tua yang ga membekali dirinya dnegan ilmu adalah orang tua yang gamau menyelesaikan masalah.
Masalah hidup ini banyak dan itu semua itu butuh penyelesaian.
Belajar adalah nikmat, tapi kenapa kalau belajar nikmat kenapa ga ada di dalam surga. Karena di surga gaada masalah, gaperlu nuntut ilmu, sedngakan di dunia banyak masalah
Berhadapan dengan anak juga perlu ilmu,
Betapa banyak seorang istri curhat masalah rumah tangganya, ini sangat membuat ustadz risih.
Sebenarnya masalah rumah tangga itu gaperlu sampai keluar, kunci penyelesaiannya ada di tangan suami. Ini karena kepala rumah tangga ga selalu jadi kepala, kadang ekor, dan lainnya.
Kepala keluarga, itu berarti otak nya dari suami. Kalau tidak jadi perannya berarti kepala tanpa otak
Mendengar, ini penyakit masalah suami-suami sekarang yang gamau mendengarkan istri.
Kepala keluarga itu jubir, juru bicara
Bagi anak lain ketika kita yang ngomong dengan guru yang ngomong
Coba periksa jangan-jangan kita sudah jadi radio rusak, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah jadi teladan untuk anak-anak.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam luar biasa dalam mengontrol emosi, dalam mendengarkan anak.
Ketika ada anak yang salah cara makannya, lihat! Nabi tidak marah (masuk urutan pertama : kontrol emosi). Kedua, berbicara tentang isi, materi.
Nabi nasehati tiga hal: makan dengan tangan kanan, membaca bismillah, dan ambil makanan dari yang paling dekat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga padahal salahnya hanya satu (makan dengan tangan kiri)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulainya dengan “hai nak” yang menunjukkan keakraban
Contohlah Nabi Nuh bagaimana ketika anak itu sudah hampir tenggelam Nabi Nuh masih mengatakan “Yaa Bunayya”
Kalau kesan pertama tidak mengenakkan bagaimana selanjutnya.
Ketika kesan pertama menyejukkan orang sudah siap menerima perkataan selanjutnya.
Jadi anak tidak merasa disalahkan, dipojokkan,
Bagaimana dengan remaja.
Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasuka kecil, namanya sariyah untuk mengintai suatu kaum, ternyata yang terjadi hingga pertempuran. Dalam pertempuran ada seorang pasukan musuh yang berperan spartan (gagah berani) banyak kaum muslimin yang terbunuh di tangannya, namun ternyata Allah berikan kemenangan ada di tangan kaum muslimin.
Di dalam pasukan itu ada Usamah bin Zaid, waktu itu usianya15 tahun. Tapi bakatnya militer.
Maka jangan under estimate seorang anak.
Istimewakan anak dengan bakatnya.
Anak-anak yang angka nilainya kecil belum tentu lebih unggul, sebenarnya dia punya potensi tapi disia-siaka oleh pendidiknya. Angka itu tidak menunjukkan apa-apa.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan anak berdasarkan bakatnya.
Usamah membunuh seorang pasukan yang sebelum dibunuh Usamah dia berucap “Laa ilaaha illa Allah
Sampailah beritanya ke Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam panggil Usamah,
Usamah melakukan kesalahan fatal,
Maka ketika Usamah menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ingat ya,Ilmu psikologi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tingkat wahyu, ini yang harus diteladani, gausah contoh si fulan si fulan, dia bukan siapa-siapa.
Nabi berkata kepada Usamah
“Apakah hau membunuh nya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha Illa Allah?”
Ini namanya redaksi pertanyaan.
Kata-kata ini jauh dari kesan intimidatif,
Anak-anak itu kadang gamau bohong tapi karen dipojokkan terus ya bohong jadinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak maksa Usamah untuk berkata ya atau tidak.
Kita harus memperhatikan psikologi orang yang kita ajak bicara.
Usamah tidak menjawab ya atau tidak, Usamah langsung mengungkapkan alasan tanpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya ya atau tidak. Kata Usamah “wahai Rasulullah dia hanya berpura-pura”
Apa kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Apa kau sudah belah dadanya?”
Patah langsung alasan Usamah
Biarkan orang itu mencerna kata-kata, jangan bicara terus-terusan ssmpai merepet sehingga jadi boros kata-kata.
Usamah tidak bisa menjawab pertanyaan lagi “duhai kiranya aku baru masuk Islam kala itu” ini kata-kata Usama, setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupnya bukan dengan vonis,
“bagaimana kamu berhadapan dengan Laa ilaaha illa Allah nya pada hari kiamat?”
Lagi-lagi ini kalimat redaksi tanya, bukan vonis
Inilah contoh bagaimana orang tua bisa menjadikan kata-katanya yang berbobot memberi kesan impact pada anak.
Setelah itu karir Usamah tidak hilang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mengangkatnya jadi panglima
Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat terjadi beberapa perang antara kaum muslimin, diantaranya perang jamal, shiffin ini terjadi di antara sesama muslimin.
Dan luar biasanya Usamah termasuk dari salah satu sedikit sahabat yang tidak terlibat pertumpahan darah dengan kaum msulimin, padahal Usamah punya bakat miiter yang hebat.
Maka kebijaksanaan seperti ini tidak muncul spontan, ini harus dilatih.
Orang-orang tua dulu terbiasa memberikan nasihat di momen-momen penting anak-anaknya.
Bagaiamana kita bisa merangkai itu semua (pesan dan cara menyampaikan jadi suatu kombinasi yang baik?
Wallahu a’lam
Jadikan kata kata kita sebagai orang tua punya bobot, punya value di mata anak. Kalau gasiap ngomong sama anak lebih baik diam.
Tanya jawab:
Cara mengontrol emsoi saat anak tidak paham apa yang kita sampaikan?
Ulangi sampai dia betul- betul paham. Jangan terbebani dengan hasil. Allah tidak menilai hasil, yang Allah tanya di hari kiamat nanti juga bukan hasil. Hasil urusan Allah.
Berhasil tidaknya bukan karena kita tapi anugerah dari Allah. ‘ Gaperlu liat orang lain “wah dia berhasil” jangan-jangan ternyata dia juga tidak berbuat apa-apa.
Al jazaa ul ihsan illal ihsaan, balasan kebaikan kebaikan.
Maka jangan terpaku dengan hasil membuat kita kehilangan kontrol emosi karena ingin anak ‘jadi’. Hati anak di tangan Allah, lakukan saja apa yang menjadi tugas antum
Nanti antum terpaksan mengatakan “Nabi Nuh ayah yang gagal” Bahaya ini!
Mendidik itu berat karena kita beradapan dengan makhluk yang bernama manusia.